Realita Tulisan Tangan (Terlalu) Bagus
Kalau ada yang mau memperbaiki tulisan tangan, saya akan jadi orang pertama yang mencegahnya.
Ini adalah tulisan tangan saya. Bukannya sombong, tapi tak ada seorang pun yang pernah mengatakan tulisan tangan saya jelek. Yang ada malah orang-orang tak percaya kalau itu ditulis oleh seorang anak laki-laki (agak aneh sih, masa tulisan tangan laki-laki tidak boleh bagus?)
Saya sering mendapat pujian berkat kemampuan menulis ini. Banyak orang mengira saya anak yang rapi, rajin, sopan, berbudi pekerti, bahkan berbakat seni. Padahal mah saya tidak pernah merasa punya kualifikasi demikian (tapi boleh juga sih buat memberi impresi pertama hehe).
Namun, terlepas dari semua pujian dan tanggapan baik, saya berani bilang kalau tulisan tangan yang bagus TIDAKLAH PENTING di masa sekarang. Bahkan, kalau ada yang mau memperbaiki tulisan tangan, saya akan jadi orang pertama yang mencegahnya*.
Ini bukan soal saya yang ingin jadi pemilik tulisan tangan terbaik. Lebih dari itu, ada berbagai konsekuensi yang akan kalian hadapi dari kemampuan ini. Sayangnya, konsekuensi-konsekuensi negatif itu dapat dengan mudah mempengaruhi kehidupan kalian.
Tulisan ini akan saya mulai dari kisah pertemuan, percintaan, dan perpisahan saya dengan tulisan indah.
PERTEMUAN
Sejak SD, saya menulis secara “salah”. Ini karena saya tak dapat memegang alat tulis sama seperti yang guru ajarkan. Kalau sesuai yang diajarkan guru, jari telunjuk tidak boleh tertekuk dan bertumpu pada alat tulis. Saya justru menekuk jari telujuk dan bertumpu pada ruas jari kelingking.
Namun, cara menulis ini justru memberikan saya lebih banyak kontrol atas tangan saya. Ruas jari kelingking saya sudah selayaknya poros — titik pusat kontrol tangan. Kalau ditanya rahasia tulisan tangan saya, mungkin ini jadi jawabannya.
Awalnya, saya tak punya niatan sama sekali memperindah tulisan tangan, karena bagi saya tak begitu ada gunanya. Namun, seiring saya menulis, saya jadi makin mahir menguasai “teknik salah” ini. Semakin lama, tulisan tangan saya semakin bagus tanpa saya sadari.
PERCINTAAN
Pujian mulai datang, awalnya dari guru yang mulai menyadari kemampuan saya. Semakin lama, pujian demi pujian saya dapatkan. Dari teman, keluarga, saudara, tetangga, bahkan orang yang tak saya kenal. Mendengar pujian dari banyak orang, jiwa caper saya meronta-ronta.
“Namanya juga anak SD, dipuji sedikit bisa terbang setinggi langit,”
Keinginan memperindah tulisan tangan mulai tumbuh dan semua itu hanya untuk satu kata — pujian. Bagi saya waktu itu, pujian adalah sumber dopamin terbesar. Dalam kasus saya, mendapat suntikan dopamin sangatlah mudah — menulis yang bagus, rapi, dan indah.
Sejak saat itu, saya membuat target tiap semester yang WAJIB saya capai — memperbaiki kualitas tulisan. Benar saja, selalu ada yang baru dari tulisan saya tiap semester, entah dari peralatan yang saya pakai, jenis huruf, besar kecil huruf, sampai jenis buku tulis.
Ketika saya beranjak SMP, keinginan memperbaiki tulisan tangan ini makin menjadi-jadi. Pada saat itu, saya menemukan fakta menarik — ternyata saya tidak sendirian. Hampir semua teman perempuan saya terpapar skena yang mencoba mendefinisikan keindahan dengan kata aesthetic.
Mereka memiliki peralatan tulis mahal pelbagai tipe. Yang paling populer tak lain tak bukan brush pen untuk membuat lettering. Kualitas tulisan mereka SANGAT bagus, bahkan saya tak pernah terbayang ada tulisan sebagus itu. Maklum, namanya juga pelajar rantau dari desa.
Apakah saya minder? TIDAK sama sekali. Yang ada saya jadi terinspirasi dan lebih semangat memperbaiki tulisan. Namun, saya tak nyemplung ke skena itu karena tak tertarik dengan lettering. Biarpun begitu, sobat aesthetic tetap jadi sumber inspirasi dan motivasi terbesar.
Kini tujuan saya memperbaiki tulisan bukan untuk pujian, melainkan kepuasan pribadi (personal satisfaction). Saya merasa puas jika bisa setidaknya sebanding dengan si dia.
“Kalau memantaskan diri belum bisa, setidaknya kualitas tulisan tangan bersaing, lah!” — Saya, 2018
Saya sudah bodo amat dengan pujian orang-orang. Bosan juga dapat pujian setipe, “Wah, tulisanmu bagus banget!” atau “Pasti kamu rajin banget, keren ih!” Maaf guys, Pak, Buk, Mas, Mbak, Dik, Om, Mbah, Kung, Uti, Nini, Ci, Koh, kuping saya sudah kebal dengan pujian semacam itu.
Karya tulisan terbesar saya selama duduk di bangku SMP adalah buku catatan fisika. Saya menulis buku ini saat kelas 3 SMP dalam rangka persiapan UN.
Masuk ke masa SMA, bisa dibilang jadi yang paling transformatif dalam kisah menulis saya. Selama kelas 10, tak ada yang spesial dari kemampuan menulis saya, bahkan bisa dibilang stagnan. Target semesteran itu juga tak terpikirkan karena beban akademik yang makin berat.
Sampai pada merebaknya COVID-19. Saat semua siswa dirumahkan, entah kesambet apa, saya jadi getol menulis lagi. Mungkin saya teringat memori masa lalu, khususnya ketika melihat buku catatan fisika itu. Dua kata yang mendefinisikan saya waktu itu adalah freak dan perfeksionis.
Saya mengasosiasikan belajar dengan menulis — kalau belum nulis ya belum belajar. Tak cuma itu, kurang afdal rasanya jika ada yang kurang dari tulisan saya, biarpun cuma tercoret sedikit. “Entah catatan, tugas, atau latihan soal, tulisan saya harus tak bercela! Bodo amat target semesteran, sekarang target bulanan!”
Benar saja, kualitas tulisan saya berkembang pesat. Perkembangan yang saya dapatkan selama 3 tahun di SMP tak sebanding dengan yang saya peroleh selama 3 bulan di kamar. Berikut adalah perbedaan tulisan saya ketika kelas 10 (sebelum pandemi) dan kelas 11 (saat pandemi).
PERPISAHAN
Apakah saya senang, bangga, dan puas? Untuk sejenak, iya. Meskipun pujian makin banyak berdatangan, bagi saya tak ada yang mengalahkan kepuasan pribadi. Namun ingat, hanya untuk sejenak.
Semester 3 adalah masa terberat dalam kehidupan akademik saya di SMA. Tak cuma sekolah, saya disibukkan dengan banyak kegiatan nonakademik, khususnya ekstrakurikuler. Namun, apakah itu semua menghentikan fetish saya pada tulisan? Tidak semudah itu, Ferguso!
Saya tetap berusaha memperbaiki kualitas tulisan. Yang perlu kalian ketahui, menulis rapi perlu waktu yang cukup lama, padahal saya tak punya banyak waktu. Ada sesuatu yang harus saya korbankan demi mencapai keindahan. Sesuatu yang saya korbankan adalah latihan soal.
Benar saja, saya berhasil membuat karya tulisan yang jadi favorit saya sampai sekarang — catatan Termokimia.
Namun, kalau ditanya apakah saya paham materi Termokimia? TIDAK, sama sekali tidak paham. Saya tak punya waktu cukup untuk latihan soal. Saya cuma membuat catatan yang bagus, tanpa memahami apa yang saya tulis. Ini terdengar bodoh, tapi memang itulah yang terjadi.
Saya beranggapan bahwa saya akan punya waktu untuk mempelajarinya lagi. Namun, kenyataan berkata lain. Masih ada banyak mata pelajaran yang tak tersentuh akibat padatnya kegiatan nonakademik. Pada akhirnya, materi itu sama sekali tak saya review.
Puncaknya, ketika Penilaian Akhir Semester 3, saya mendapat nilai Kimia terendah — 55. Down tidak cukup menggambarkan betapa terpuruknya saya waktu itu. Saya merasa usaha saya selama ini tidak berguna. Rasanya buku itu mau saya sobek-sobek saking sebalnya.
Akibat kejadian itu, saya mulai mempertanyakan banyak hal, khususnya apa-apa saja yang sudah saya perbuat, lebih tepatnya apa yang sudah saya tekuni. Pertanyaan itu semacam “Tujuanku menulis bagus-bagus tuh apa sih? Cuma buat kepuasan, kah?” atau “Memang apa sih gunanya menulis bagus-bagus?”
Dan pertanyaan yang paling berkesan adalah,
“Sebenarnya tujuanku belajar apa cuma buat latihan nulis?”
Saya mulai ragu pada hal yang sudah jadi fokus bertahun-tahun. Kemampuan yang selalu saya latih, justru jadi biang kehancuran.
Ibarat seorang samurai yang selalu mengasah pedang, padahal pedang itu bisa saja membunuh dirinya sendiri.
Pada saat itu juga, saya memutuskan untuk tidak menuruti keinginan saya — memperbaiki tulisan. Cukup. Ya, cukup.
Bisa dibilang, saya move on. Move on bukan berarti menurunkan kualitas tulisan, tetapi memahami apa yang salah dan mencoba menyelesaikannya. Setelah tahu akar masalah itu, saya bak terlahir kembali dalam hal tulis-menulis.
Pada akhirnya, saya benar-benar mampu mencapai titik akhir perjalanan belajar menulis. Saya mampu mencapai keseimbangan antara estetika dan efektivitas. Kisah ini akan saya bahas di akhir tulisan.
Di awal tulisan, saya menyinggung konsekuensi negatif dari kemampuan ini. Seperti yang teman-teman dapat simpulkan dari kisah saya di atas, ada satu sifat buruk yang timbul: perfeksionisme.
“Kalau dilihat dari cangkangnya, perfeksionisme bukanlah hal negatif. Siapa yang tak suka sesuatu yang sempurna? Bayangkan seorang editor buku tak perfeksionis, sudah berapa typo yang dia perbuat. Bayangkan seorang ilmuwan tak perfeksionis, sudah berapa teori salah yang ia temukan,”
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus memahami perfeksionisme dari 2 sudut pandang; pengamat dan pelaku. Bagi pengamat, perfeksionisme sang pelaku adalah berkah. Output yang dihasilkan boleh jadi lebih baik ketimbang orang lain yang tidak perfeksionis.
Namun, bagi sang pelaku, sifat perfeksionisnya ibarat sebuah penyakit yang dapat menghancurkan hidupnya secara perlahan. Yang mengerikan adalah kebanyakan pelaku sadar akan “penyakit” yang dideritanya, tapi tak mampu menyembuhkannya.
Saya tak punya masalah dengan orang perfeksionis, toh memang berguna di beberapa bidang kehidupan. Namun, implikasi dari sifat perfeksionis sangat mengerikan, setidaknya dalam hidup saya.
Perfeksionisme MEMPERLAMBAT hidup. Sebagai perfeksionis, kami fokus pada hal-hal kecil yang tak signifikan dan sejujurnya lebih membuang waktu ketimbang hal-hal besar. Dalam kasus saya, ketika orang lain sudah mampu menulis 5 kalimat, saya baru selesai 2. Itu pun kalau belum salah tulis.
Saya sudah biasa jadi yang paling lambat dalam hal menulis. Memang, output yang saya hasilkan boleh jadi lebih baik dari orang lain, tetapi waktu tak bisa dikompensasi. Pada keadaan genting dan mendesak, ini jadi sangat keparat. Bayangkan terlambat mengumpulkan tugas atau ujian hanya karena menulis terlalu lambat, sungguh menyebalkan.
Tak cuma dalam hal tulis menulis, perfeksionisme mempengaruhi segala lini kehidupan saya. Otak saya juga jadi LAMBAT, baik adalam hal pemecahan masalah, pengambilan keputusan, bahkan kinestetik. Semua itu karena saya selalu terpikir konsekuensi buruk jika tak mengerjakan sesuatu dengan baik. Saya ganti, dengan SEMPURNA.
“Kalau caramu menulis lambat, hati-hati otakmu ikutan melambat!”
Saya tak kenal dengan yang namanya efektivitas. Waktu dan tenaga saya habis hanya untuk hal sepele. Saya tahu saya lambat, tapi saya tak punya kuasa untuk mengubah itu. Saya masih belum bisa mengorbankan estetika. Kalau diingat-ingat, saya jadi sebal dengan diri saya waktu itu.
Kesimpulannya, keinginan memperbaiki kualitas tulisan berimbas pada rasa tak mudah puas. Rasa tak mudah puas merupakan biang perfeksionisme. Perfeksionisme memperlambat cara kita menulis. Cara menulis yang lambat berdampak pada otak yang lambat. Otak lambat sudah pasti jadi bencana.
Sampai sekarang, saya tak dapat lepas dari sifat ini. Namun, saya berusaha semaksimal mungkin untuk menguranginya. Setidaknya, bisa saya kontrol.
Sebelumnya, saya dengan bangga menyatakan bahwa saya sudah mencapai titik akhir perjalanan memperbaiki kualitas tulisan tangan — mencapai keseimbangan antara estetika dan efektivitas. Saya rasa bagian tulisan ini cocok bagi teman-teman yang bernasib sama dengan saya — setengah menyesal punya tulisan bagus.
Berdasarkan pengalaman saya, teman-teman tak perlu menurunkan standar atau merelakan tulisan jadi jelek. Yang perlu kita lakukan adalah berhenti meningkatkan kualitas dan fokus pada efektivitas. Efektivitas dalam hal ini berhubungan erat dengan kecepatan dan ketepatan menulis.
Hal pertama yang saya lakukan setelah mencapai titik pencerahan adalah mengidentifikasi kesalahan. Saya baca dan pahami sambil mengingat ulang tulisan-tulisan yang sudah saya hasilkan. Tahap ini berlangsung lumayan singkat, karena sebelumnya saya sudah sedikit menyadari kesalahan saya.
Yang menarik, kesalahan terbesar saya ternyata sangat sederhana — saya terkekang. Saya terkekang oleh medium menulis. Saya terkekang oleh konsep-konsep materi. Bahkan, saya terkekang oleh diri saya sendiri.
Masalah Pertama: Terkekang Medium Menulis
Dalam hal ini, saya merasa buku tulis bergaris tak memberi kebebasan yang cukup. Bagi saya, garis-garis itu bagaikan penjara yang membatasi sisi liar kita. Menulis yang harusnya jadi lahan meluapkan pikiran malah dibatasi oleh garis-garis itu.
Misalnya: ukuran tulisan kita tak bisa terlalu kecil dan terlalu besar; kita tak bebas membuat ilustrasi atau mencorat coret karena well, tidak eye pleasing; isinya juga sangat terbatas, tak cocok buat mengerjakan banyak latihan soal.
Solusinya, saya pindah ke kertas A4. Pada awalnya sangat tidak nyaman menulis di kertas kosong berukuran besar. Namun, setelah beberapa hari, dampaknya langsung terasa. Saya jadi lebih bebas mencorat-coret, membuat ilustrasi, atau sekadar mengumpat.
Betul, saya menulis umpatan saya di kertas. Tak ada salahnya, kan? Yang harus dipahami, menulis tak boleh terkekang. Anggap saja medium menulis sebagai kanvas putih kosong yang dapat kamu lukis sebebas-bebasnya.
Masalah Kedua: Terkekang Konsep Materi
Berhubungan dengan migrasi saya ke kertas A4, saya dapat dengan mudah meluapkan segala isi pikiran saya. Hal ini membentuk jiwa kritis dan skeptis, khsusunya mengenai sebuah sumber informasi.
Dulu, saya langsung melahap materi yang dibagikan guru tanpa mencari sumber lain, padahal tak selamanya lengkap (malah nyaris semuanya tak lengkap). Ini yang membuat pemahaman saya nol besar.
Setelah menulis secara lebih bebas, saya menemukan sumber belajar baru. Walaupun tak ada yang sempurna, masing-masing dari mereka punya informasi unik bagaikan puzzle. Ketika informasi itu digabungkan, tingkat pemahaman saya bertambah.
Masalah Ketiga: Terkekang Diri Sendiri
Sebelumnya, saya sudah bercerita tentang “kalau tidak menulis, ya tidak belajar”. Ini adalah mindset yang sangat salah. Sebenarnya belajar bisa saja tak menulis sama sekali. Namun, sebagai pelajar di Indonesia, hal itu masih sangat sulit dilakukan.
Pada akhirnya, saya berpindah haluan dari yang awalnya membuat catatan sebaik mungkin menjadi latihan soal sebanyak-banyaknya dengan kualitas sama. Saya tak menghiraukan ada tinta bocor, tercoret, atau tulisan tak rata. Toh tak ada orang yang melihat, wong cuma langkah pengerjaan soal.
“Saya beralih dari mindset ‘belajar untuk menulis’ menjadi ‘menulis untuk belajar’,”
Dampaknya luar biasa. Dengan mengerjakan soal secara teratur dan runtut, otak saya ikut-ikutan jadi sistematis. Pemahaman saya akan pelajaran eksak meningkat signifikan. Saya merasa beruntung berada pada jalan yang benar tepat saat materi kalkulus.
Dalam hal tulis menulis, efeknya jauh lebih gila. Tak cuma bisa menulis lebih cepat, sifat perfeksionisme saya berkurang signifikan. Ada tinta bocor? Gak apa-apa kali, malah artsy. Ada tulisan tercoret? Hey, it’s my signature! Ada tulisan tak rata? Kan udah gak ada garisnya, jadi gak begitu kelihatan.
“Maaf Demian, hidup jadi sejuta kali lebih indah ketika tak ada kata ‘sempurna’,”
Teruntuk Yang Ingin (atau Sedang) Memperbaiki Tulisan
Saya sadar ada banyak dari teman-teman yang ingin punya tulisan tangan lebih baik (dan saya memahami itu). Namun, saya harap teman-teman tak mengalami pengalaman buruk seperti di atas. Oleh karena itu, saya hendak berbagi pendapat. Semoga tulisan ini dapat menjadi insight yang bermanfaat bagi teman-teman.
1. Tulisan bagus tidak seberguna itu!
Saya tak suka mengatakannya, tapi sejujurnya punya tulisan bagus tak seberguna itu. Kalau boleh jujur, malah cenderung sudah tidak relevan. Kita tidak hidup di abad ke-18 ketika tulisan bagus jadi kemampuan yang dihargai tinggi. Kita hidup di masa mengetik jauh lebih efektif ketimbang menulis.
Tak ada yang namanya ujian standar kelaikan tulisan. Tak pernah ada cerita seorang karyawan dipecat karena tulisannya buruk. Tak akan ada malaikat yang menanyai “Seberapa bagus tulisanmu?” di alam kubur.
“Hidup tetap berjalan meskipun tulisanmu jelek. Sebaliknya, hidup terasa berhenti ketika kamu terlalu fokus mengejar kesempurnaan,”
Saya paham, kebanyakan dari kalian yang berlatih menulis indah berorientasi pada estetika dan tidak memedulikan nilai lain. Namun, sadarlah kalau masih banyak skills atau kemampuan lain yang mungkin lebih berguna dan relevan ketimbang punya tulisan bagus.
Cobalah tanyakan pertanyaan eksistensial seperti yang saya tanyakan ke diri saya sendiri. Misalnya, “Apa tujuanku memperbaiki tulisan?”, “Apa manfaat yang kuperoleh dari kemampuan ini?”, atau “Apakah kemampuan ini worth it dengan waktu dan usaha yang kukeluarkan?”
Jika teman-teman sudah menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu, silakan lanjutkan. Namun, jika belum, hendaknya teman-teman istirahat sejenak sembari mencari jawaban.
2. Banggalah dengan tulisanmu!
Salah satu motivasi terbesar memperbaiki tulisan adalah karena tidak percaya diri. Hal ini bisa saja muncul dari pengalaman buruk atau sekadar ikut-ikutan teman yang aesthetic. Tak ada yang salah, cuma kalau tulisanmu sudah cukup baik, kenapa harus diperbagus?
Selama tulisan teman-teman masih bisa dibaca diri sendiri dan orang lain, itu sudah cukup. Tak perlu pedulikan orang lain yang menganggap tulisanmu jelek. Mau itu teman, guru*, keluarga, saudara, pakde, bude, tak masalah. Singkatnya, banggalah dengan tulisan dan gaya menulismu!
Sekali lagi, tak ada ujian kelaikan tulisan. Tulisan baik dan buruk sama saja di mata Tuhan dan masyarakat umum. Kamu tak akan disuruh pulang petugas bank cuma karena tulisanmu acak-acakan. Kamu tak akan dicoret dari KK cuma karena tulisanmu tak terbaca. Chill, brow!
3. Tahu waktu, please!
Iya iya, saya paham kalau lettering dan pernak-pernik ke-aesthetic-an sulit ditolak. Tak ada yang salah dengan hal itu, selama kamu memandangnya sebagai seni, bukan daily basis.
Maksud saya, teman-teman harus tahu waktunya kapan menulis cantik dan kapan harus acak-acakan. Saya tahu, ini sulit diterima, apalagi buat teman-teman yang brush pen-nya baru saja datang dan sudah siap-siap bikin akun studygram dan masuk dunia ambisverse Twitter.
Namun, kita tak bisa selamanya jadi aesthetic. Saya anggap teman-teman sudah membaca kisah saya di atas sehingga tak perlu minta penjelasan lagi. Yang pasti, mengeluarkan skill menulis indah boleh-boleh saja, asal tahu waktu dan batasannya.
4. Hindari jadi perfeksionis!
Saya sudah mengupas tuntas dampak buruk perfeksionisme di atas. Di sini, saya hanya akan membagikan beberapa hal yang bisa mengindikasikan sifat perfeksionis mulai tumbuh dalam diri teman-teman. Jika hal-hal di bawah ini muncul, segera berhenti, minum, lalu istighfar.
- Merasa tak puas dengan keadaan sekarang. Atau dengan kata lain selalu merasa kurang, ada yang salah, dan tak nyaman.
- Terlalu fokus pada hal-hal kecil yang tak sejatinya tak perlu dipedulikan, misalnya salah tulis atau tercoret. Bahkan, bisa sampai melalaikan tugas yang lebih utama.
- Merasa bersalah jika hasil tak sesuai dengan ekspektasi, semacam tak bisa merelakan kesalahan. Padahal, terkadang hal-hal buruk memang terjadi di luar kontrol kita.
- Terbayang-bayang kesalahan sepele, bahkan bisa sampai overthinking. Kalau parah banget, bisa sampai terbawa mimpi!
Sekadar meluruskan, saya bukanlah si paling enggak perfeksionis. Sifat ini masih melekat dalam diri saya. Namun, saya benar-benar ingin lepas dari perfeksionisme.
5. Khusus untuk pelajar, tulisan bagus bukan berarti paham materi!
Di era media sosial seperti sekarang, kita sangat mudah menemui orang lain yang nampaknya punya kehidupan akademik sempurna — catatan aesthetic, alat tulis lengkap, dapat nilai sempurna, masuk universitas top tanpa tes, dan lain-lain. Intinya, sempurna banget!
Kalau ada teman-teman yang menemukan orang yang punya kriteria seperti di atas, jangan sekali-kali terpincut untuk menirunya. Terinspirasi boleh, tapi jangan sampai ditiru. Bukannya apa-apa, gaya belajarmu dengannya bisa jadi berbeda. Carilah gaya belajarmu sendiri, jangan menjiplak orang lain.
Tak cuma itu saja, seperti yang sudah saya jelaskan, tulisan bagus TIDAK menunjukkan kepribadian seseorang. Bukan berarti orang yang tulisannya lebih bagus juga lebih rapi, rajin, pintar, tidak begitu konsepnya. Jangan pernah merasa down jika menemukan orang yang tulisannya lebih bagus. Bukan berarti kamu kalah rajin atau pintar, lho!
Bagi teman-teman yang berniatan memperbaiki tulisan agar paham materi, sebaiknya jangan lakukan. Tulisan bagus penuh hiasan tak menjamin tingkat pemahamanmu. Saya menyarankan teman-teman untuk fokus pada latihan soal. Urusan catatan, sekarang ada berbagai sumber yang bisa teman-teman manfaatkan.
Sekali lagi, JANGAN PERNAH fokuskan belajar teman-teman untuk menulis serapi mungkin atau membuat catatan sebaik mungkin. Sayang tenaga dan waktu, padahal bisa dipakai buat hal yang lebih bermanfaat.
“Ingat, tujuan kita belajar yang utama tuh bukan buat belajar nulis, lho!”
Catatan Tambahan
*Mencegah bukan berarti menghentikan. Saya jadi akan jadi orang pertama yang mencegah teman-teman karena saya tak mau teman-teman mengalami pengalaman buruk seperti yang saya tuliskan di atas. Jika mau melanjutkan, silakan. Sedari awal saya memang tak berniat menghentikan.
*Saya tahu ada beberapa guru yang seringkali tak puas dengan tulisan tangan siswanya. Jika teman-teman mengalami hal demikian, silakan perbaiki tulisan teman-teman. Namun, jangan sampai terpancing ego semacam “Aku juga bisa menulis bagus. Pokoknya akan kubuktikan!” Ego dan dendam semacam ini justru sangat destruktif.
Pesan untuk Teman-Teman Pembaca
Jika teman-teman sudah membaca sampai sini, saya cuma bisa berterima kasih sebanyak-banyaknya. Tulisan ini adalah yang terpanjang sejauh ini. Saya sangat berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi teman-teman.
Kalau teman-teman tertarik dengan tulisan seputar kehidupan pelajar, produktivitas, dan isu-isu sosial lainnya, boleh banget mampir ke profil Medium saya di Raditya Raihan Hidayat.
Oh iya, teman-teman dapat meninggalkan pertanyaan, saran, tanggapan, masukan, ataupun kritikan di kolom komentar di bawah. Jika teman-teman tertarik berdiskusi, berkonsultasi, atau sekadar kenalan, jangan ragu untuk DM saya lewat:
Instagram: @radityaraihan_
e-mail: radrayat89@gmail.com
Sekian dan terima kasih!