Riwayat Kios Tak Bertuan di Pasar Sapi Salatiga

Raditya Raihan Hidayat
4 min readFeb 7, 2023

--

Kini, bukan lagi api yang membakar Pasar Sapi, melainkan harga sewa kios yang terlampau tinggi.

Sumber: Dokumentasi Pribadi
Kios-kios kosong Pasar Sapi (Sumber: Dokumentasi Penulis)

Tak terasa hampir satu tahun sejak Pasar Rejosari atau Pasar Sapi Salatiga diresmikan kembali pasca revitalisasi. Sungguh, saya serius menekankan frasa “tak terasa”. Walaupun hampir satu tahun, pemandangan Pasar Sapi tak jauh beda dengan ketika ia diresmikan. Hingga kini, pintu-pintu besi tak berjiwa masih menghiasi rupa Pasar Sapi. Hingga kini, kios-kios Pasar Sapi masih tak bertuan.

Hal tersebut menyita perhatian dan rasa ingin tahu saya karena Pasar Sapi boleh jadi adalah tempat yang paling strategis se-tanah Salatiga. Ia berada tepat di perempatan yang menghubungkan empat jalan kolektor. Sirkulasi lalu lintas yang ramai setiap saat meramaikan hiruk-pikuk perkotaan. Jika Salatiga adalah individu, maka Pasar Sapi bagaikan katup-katup jantung.

“Jika Salatiga adalah individu, maka Pasar Sapi bagaikan katup-katup jantung,”

Letak strategis Pasar Sapi bagaikan magnet bagi pedagang, terlebih mereka yang berasal dari luar Salatiga. Sudah seperti tradisi jika tiap pagi angkutan umum antarkota penuh sesak barang dagangan. Bukan emas yang mereka jajakan, melainkan hasil kebun yang baru dipetik kemarin petang ataupun hewan ternak yang baru dikuliti bakda subuh.

Pasar Sapi merupakan saksi perjuangan serta resiliensi pedagang. Empat belas tahun yang lalu, Pasar Sapi habis dilumat si jago merah. Kebakaran itu menyisakan badan tanpa jiwa —kios-kios kosong yang belasan tahun tak terawat maupun tersentuh. Biarpun begitu, para pegadang tetap bertahan. Ekonomi masih menggeliat dan menolak mandek.

Kebakaran Pasar Sapi pada Jumat, 26 September 2008 (Sumber: tukangpamer.wordpress)

Pasca kebakaran, pedagang menyambung rezeki di kios-kios komunal yang bersifat darurat serta berpindah-pindah tetapi masih dalam satu kompeks. Dari luar, Pasar Sapi tak kurang seperti bangkai sisa kebakaran. Namun, di dalam, terdapat kehidupan serta makhluk hidup kuat yang menolak kalah.

“Dari luar, Pasar Sapi tak kurang seperti bangkai sisa kebakaran. Namun, di dalam, terdapat kehidupan serta makhluk hidup kuat yang menolak kalah,”

Proses restorasi Pasar Sapi tidak berjalan singkat. Masa depan bangkai itu baru diputus empat tahun setelah kebakaran. Setelah itu, proyek restorasi Pasar Sapi mandek lima tahun, terhitung dari 2012 hingga 2017.

Sinar harapan muncul ketika bangkai Pasar Sapi diratakan dengan tanah pada 2017. Akan tetapi, harapan itu meredup ketika Pasar Sapi mangkrak kembali hingga akhir tahun 2021. Selama mangkrak, pemandangan Pasar Sapi hanyalah lapangan hijau yang dipenuhi ilalang serta puing bangunan.

Pemandangan Pasar Sapi pada 2017 (Sumber: matalensanews.com)

Pembangunan baru benar-benar bermula pada Juni 2021. Ternyata, hanya butuh waktu kurang dari enam bulan untuk membangun kembali Pasar Sapi, tetapi perlu belasan tahun untuk merealisasikannya. Pemkot Salatiga mengucurkan dana hingga 23 miliar rupiah guna mengembalikan rupa Pasar Sapi. Hasilnya adalah bangunan baru yang dilengkapi dengan kios-kios serta ruang komunal berisi los-los.

Pemandangan Pasar Sapi pada 2022 (Sumber: binpers1.com)

Bangunan baru Pasar Sapi cukup modern, tetapi tidak lebih megah apabila dibandingkan dengan rupa terdahulu. Di tengah, terdapat ruang komunal yang dikelilingi total 75 kios yang menjadi wajah baru Pasar Sapi. Kios-kios itu tersegel folding gate biru, menanti-nanti datangnya pemilik baru. Akan tetapi, hingga sekarang, tidak sampai 20 kios yang terisi.

“Pemandangan Pasar Sapi tak ubahnya ketika ia diresmikan setahun yang lalu — sepi,”

Dinamika jual beli yang umum meghiasi pasar tidak seramai dahulu kala. Tubuh baru Pasar Sapi yang segar bugar kosong lompong tak bernyawa. Dari luar, Pasar Sapi masih tersegel rapi. Pemandangan berbeda nampak di ruang komunal yang berisi los-los. Di pagi hari, ruang itu jadi ajang tawar-menawar. Namun, gegap gempita Pasar Sapi tidak bertahan lama. Selepas barang dagangan habis, pasar itu mati suri.

Setelah berdialog dengan beberapa pedagang, pelaku ekonomi, serta sopir angkutan umum, tak salah jika Pasar Sapi kehilangan jiwanya. Harga sewa kios yang setinggi langit, kurang lebih 7 juta pertahun, tentu ibarat tinju telak bagi para pedagang. Sebagai perbandingan, harga sewa kios di Pasar Raya Kota Salatiga “hanya” 3,5 sampai 4 juta pertahun dan masih terbilang mahal bagi kemampuan ekonomi pedagang.

Pedagang Pasar Sapi yang bertahan bukanlah cukong kelas kakap. Mereka adalah pedagang-pedagang kampung yang menjajakan hasil taninya. Para pedagang kelas atas yang jadi korban kebakaran telah direlokasi ke Pasar Andong. Mereka mungkin sudah merasa nyaman dengan kehidupan baru. Terlebih, siapa juga yang mau membayar sewa semahal itu?

Stigma “mahal” Pasar Sapi dibiarkan terlalu lama. Walaupun sudah hampir satu tahun pasca peresmian ulang, tidak ada upaya konkret guna membuat Pasar Sapi lebih terjangkau. Akibatnya, Pasar Sapi semakin terasa jauh dari gapaian masyarakat. Pasar Sapi boleh berada di tempat yang paling mudah dijangkau, tapi harga sewanya tak terjangkau.

“Berkat letak strategisnya, Pasar Sapi mudah dijangkau, tetapi tidak terjangkau,”

Kesunyian Pasar Sapi bukanlah permasalahan sepele. Jika dibiarkan, peran utama bangunan itu bisa dialihfungsikan golongan marjinal sebagai rumah kedua — dibaca basecamp. Bukan hanya sekali kaum marjinal menggunakan Pasar Sapi sebagai tempat bersuka ria. Selain itu, bangunan yang sepi akan meningkatkan potensi kriminalitas.

Pemerintah Kota Salatiga perlu meningkatkan fokus dalam pemberdayaan Pasar Sapi. Yang paling utama, perlu adanya evaluasi terhadap harga sewa kios. Restorasi Pasar Sapi bukanlah satu-satunya jalan kunci sebab kini bukan lagi api yang membakar Pasar Sapi, melainkan harga sewa kios yang terlampau tinggi.

--

--

Raditya Raihan Hidayat
Raditya Raihan Hidayat

Written by Raditya Raihan Hidayat

Learning at URP Diponegoro University

No responses yet